PEKANBARU, THILASIA.ID- Di sebuah kota bernama Pekanbaru, tahun 2025, jalan-jalan masih penuh lubang seolah permukaan bulan. Air hujan menggenang, menciptakan kubangan yang menyimpan kisah lama bahwa janji pembangunan yang tak kunjung ditepati. Sampah berserakan, mekanisme pengelolaannya pun compang-camping. Warga mengeluh, pedagang kecil merintih, tukang parkir pun kerap berseteru dengan konsumen karena aturan yang tak jelas.
Di tengah situasi ini, Wali Kota Agung Nugroho muncul lebih sering di panggung-panggung seremoni ketimbang di gelanggang kerja nyata. Ia meresmikan Sport Center hingga Taman Labuai City Walk yang semuanya peninggalan sang pendahulu, Penjabat Wali Kota Muflihun. Layaknya Kaisar Nero di Roma yang sibuk bermain musik saat kotanya terbakar, Agung sibuk menggunting pita sementara Pekanbaru didera banjir, jalan rusak, dan rakyat kesulitan. Mulai dari Taman Labuai City Walk hingga Sport Center, semua diklaim dan dipotong pitanya. Padahal, itu bukan hasil karya Agung, melainkan program yang dirancang, dikerjakan, dan diselesaikan di era Muflihun. Dengan kata lain, kepemimpinan Agung hanya sekadar menjiplak dan melanjutkan seremoni, tanpa menghadirkan gagasan dan karya baru.
APBD Kota Pekanbaru tahun 2025 bukan angka kecil dengan nilai Rp3,2 triliun, naik dari Rp2,8 triliun pada 2024. Bahkan setelah DPRD mengetuk palu menetapkan Rp3,02 triliun, waktu itu Pemko tiba-tiba mengajukan tambahan Rp190 miliar hingga tembus Rp3,211 triliun. Angka ini berkilau di atas kertas, tapi di lapangan, rakyat bertanya-tanya, ke mana larinya dana sebesar itu?
Aktivis Riau, Cep Permana Galih, akhirnya angkat bicara. Dengan nada tegas ia menyebut, “APBD sebesar ini jangan lagi ditutup-tutupi dengan dalih efisiensi. Apalagi ini sudah mau dipenghujung tahun 2025, bukti nyata yang dirasakan rakyat tidak ada sama sekali. Transparansi harus ditegakkan, kemana dana yang harusnya kembali lagi kepada rakyat dalam bentuk perubahan nyata dilarikan? Jika tidak, Wali Kota Agung Nugroho wajib diperiksa oleh Kejari, Kejati, Kejagung hingga KPK.”
Cep menyamakan kondisi ini dengan kisah Timur, yaitu Dinasti Ming di Tiongkok yang runtuh karena pejabatnya sibuk pesta pora sementara rakyat kelaparan, atau seperti kisah Abbasiyah di Baghdad pada abad ke-13, dimana para khalifah lebih sibuk membangun istana megah daripada memperbaiki saluran air kota. Akhirnya, ketika Mongol datang, kota itu jatuh tanpa daya.
Muflihun, sang penjabat wali kota sebelumnya, digambarkan Cep sebagai sosok yang setidaknya meninggalkan karya nyata, meski sederhana, ia merintis dalam membangun Sport Center dan City Walk. Tetapi Agung, bukannya menciptakan karya baru, justru menjiplak dan meresmikan seolah hasil tangannya sendiri. Dalam perumpamaan Eropa, ini mirip Raja Louis XVI yang mewarisi kemewahan Versailles namun gagal melahirkan kebijakan baru, hingga rakyat berteriak dan Revolusi Prancis pun meletus pada 1789.
“Pekanbaru ini gelap,” lanjut Cep. “Padahal PAD kita lebih dari Rp1,3 triliun, ditambah transfer pusat Rp1,6 triliun. Dari uang sebesar itu, masa tidak ada yang benar-benar menyentuh ekonomi rakyat? Banjir masih, jalan rusak masih, sampah menumpuk masih. Ini bukan hanya soal besar atau kecilnya, tapi ini juga soal kegagalan kepemimpinan.”
Ia menutup pernyataan dengan keras, “Seperti Napoleon yang akhirnya digulingkan setelah merasa tak terbantahkan, Wali Kota Agung Nugroho harus sadar bahwa kekuasaan tanpa kinerja hanyalah istana pasir. Kami mendesak penegak hukum menjemputnya untuk diaudit habis-habisan, agar rakyat tahu kebenaran.”
Pekanbaru, di tengah hiruk-pikuk jalanan rusak dan bau sampah, elemen buruk itu menunggu, apakah sejarah akan berulang atau ada keberanian untuk memutus lingkaran gelap ini.