||PEKANBARU, THILASIA.ID-|| Tanpa Sebab yang jelas, seorang Tenaga Harian Lepas ( THL ) di Perumda Air Minum Tirta Siak (PDAM) Gusti Diannata Sahputra menerima surat pemutusan kerja, tertanggal 2 Juni kemaren.
Gusti menjelaskan kepada awak media, “Sewaktu itu tanggal 18 mei kemaren adalah hari libur, Arnolza alias Dodi menghubungi saya dan tidak terangkat. Saya baru pulang dari rumah sakit menjaga nenek saya yang lagi sakit. Dalam pesan grup WhatsApp kami, dia (dodi_red) mengeluarkan ultimatum, mengeluarkan sanksi tanpa alasan yang jelas,” papar Gusti (Kamis,12/6/2025).
Ia juga menambahkan, “saya kerja sudah 2 tahun lebih tanpa ada surat peringatan dan pelanggaran berat yang saya lakukan, mereka mengeluarkan surat PHK kepada saya secara sepihak,” jelasnya.
Adapun dasar hukum mengapa harus SP1, SP2, SP3 sebagai berikut:
A. Sebagai Tahapan Pembinaan
1. SP diberikan agar karyawan memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan.
2. Ini bagian dari asas keadilan dan perlindungan hukum bagi pekerja
B. Bukti prosedural
1. SP adalah bukti tertulis bahwa perusahaan telah memberikan peringatan sesuai prosedural.
2. Jika sampai ke mediasi atau pengadilan SP akan diminta sebagai alat bukti.
C. Membedakan pelanggaran ringan dan berat
1. Untuk pelanggaran ringan dan sedang harus melalui tahapan SP bertingkat.
2. Untuk pelanggaran berat, bisa langsung PHK tanpa SP( misalnya pencurian, kekerasan, penipuan dan lain-lain).
Adapun dasar hukum kewajiban SP sebelum PHK sebagai berikut:
A. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 161 Ayat (1):
“Pengusaha dapat melakukan terhadap pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama setelah diberikan surat pertama, kedua, ketiga secara tertulis.”
Pasal 161 Ayat (2):
Surat perjanjian tersebut masing-masing berlaku untuk jangka waktu paling lama 6(enam) bulan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perusahaan atau PKB.
B. PP No. 35 Tahun 2021 (Turunan dari UU Cipta Kerja) Menjelaskan bahwa PHK karena alasan pelanggaran harus dibuktikan dan dilakukan dengan prosedur yang sah, termasuk pemberian peringatan yang tertulis.
3. Adapun konsekuensinya, apabila tidak diberikan SP.
1. PHK dinyatakan cacat hukum, jika dilakukan tanpa proses SP, kecuali pelanggaran berat.
2. Karyawan dapat menggugat ke Disnaker atau PHI.
3. Perusahaan bisa diwajibkan membayar kompensasi atau mempekerjakan kembali karyawan.
“Kami menilai ini ada sentimen pribadi dari Dodi kepada kami, dan itu saya dengar langsung dari mulutnya. Intinya saya tidak mau lagi kamu kerja disini,” ucap Gusti menirukan bahasa Dodi.
Hal ini mendapat tanggapan serius dari Aktivis Riau Barisan Lantang Para Aktivis Indonesia (BALAPATISIA) yang sekaligus Pemerhati Tenaga Kerja, Cep Permana Galih. Ia menyampaikan, “Saya berharap pihak PDAM selaku pemberi kerja dalam melakukan proses pemecatan, semestinya mempertimbangkan ketentuan yang berlaku sebagaimana yang diatur dalam dunia kerja,” tegas Cep Permana Galih yang juga pernah menjadi Presiden Mahasiswa di salah satu kampus ternama di Provinsi Riau.
Cep juga menambahkan, “Kita tahu bahwa dalam Permendagri No. 02 Tahun 2007 Tentang Organ dan Kepegawaian Perumda Tirta siak, muatannya tetap berjenjang dalam unsur pemecatan karyawan,” jelas Cep Permana Galih.
Bahkan, dalam hal penandatanganan Surat PHK tersebut terdapat kejanggalan yang dipertanyakan oleh Aktivis Riau tersebut. Cep mengungkapkan, “Kitapun heran bahwa dalam surat PHK ini, Human Capital M. Syah Reza Palepi yang menandatangani, kenapa bukan Direktur Utama PDAM Tirta Siak,” tanya Cep Permana dalam sesalnya.