PEKANBARU, THILASIA.ID- Sebuah tindakan yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan hak konstitusional warga negara kembali terjadi. Salah satu rumah sakit swasta ternama di Kota Pekanbaru, RS Prima, diduga dengan sengaja menolak pasien pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang datang untuk berobat pasca mengalami kecelakaan kerja, padahal saat masuk sebagai pasien KIS, semua biaya sepenuhnya telah dialihkan dari pribadi ke jalur JKN-KIS.
Pasien berinisial IA (25 tahun), seorang pekerja harian, sebelumnya sempat mendapat pertolongan darurat dengan biaya pribadi yang ditanggung oleh atasannya. Namun, ketika masuk untuk pengobatan lanjutan dengan status sebagai peserta KIS aktif, pihak rumah sakit secara sepihak menolak memberikan pelayanan, dengan dalih: “Ini kecelakaan kerja, bukan tanggungan BPJS Kesehatan.”
Padahal, sesuai dengan aturan perundang-undangan, penentuan penjamin layanan (apakah BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan) bukanlah kewenangan rumah sakit, melainkan harus melalui verifikasi administratif oleh lembaga yang berwenang. Dan lebih fatal lagi, pasien datang dengan kondisi luka yang belum pulih dan membutuhkan perawatan medis lanjutan.
Apa Kata Hukum? Ini Bukan Sekadar Penolakan, Ini Pelanggaran HAM!
Penolakan pelayanan terhadap pasien KIS oleh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan adalah pelanggaran nyata terhadap:
1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 32: “Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.”
Pasal 190: Penolakan layanan kesehatan dalam kondisi darurat diancam pidana 2 tahun penjara atau denda Rp 200 juta.
2. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS
Pasal 17 ayat (1): Rumah sakit yang bermitra wajib memberikan pelayanan kepada peserta JKN.
3. Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan
Pasal 54 ayat (3): “Fasilitas kesehatan wajib melayani peserta meskipun masih ada kendala administratif.”
Sanksi Menanti: Bukan Sekadar Teguran
Jika terbukti bersalah, rumah sakit tersebut terancam:
Sanksi administratif hingga pemutusan kerja sama oleh BPJS Kesehatan.
Dilaporkan ke Ombudsman RI sebagai bentuk maladministrasi layanan publik.
Dilaporkan ke Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan untuk evaluasi izin operasional.
Di Mana Negara? Di Mana Hati Nurani?
Kejadian ini membuka mata kita bahwa akses kesehatan yang layak, sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan undang-undang, masih menjadi mimpi bagi sebagian rakyat kecil. Ketika sebuah rumah sakit yang mestinya menjadi tempat aman dan penuh empati justru menjadi tempat diskriminasi layanan, maka saatnya publik bersuara.
Hal ini langsung mendapat respon serius oleh Jaringan Aktivis Perempuan Nusantara (JANARA) melalui Mardho Tila, S.E selaku Ketua Umum, “KIS bukan sekadar kartu. Ia adalah simbol negara hadir dalam urusan kesehatan rakyat. Dan menolak pasien KIS berarti menolak kehadiran negara, jangan sampai undang-undang dilanggar terang-terangan,” tegasnya.
Catatan Redaksi:
Kami akan terus mengawal kasus ini dan menyuarakan hak-hak warga yang selama ini diam karena ketidaktahuan akan hukum. Negara tidak boleh kalah oleh arogansi manajemen rumah sakit. Kesehatan adalah hak, bukan belas kasihan!