PEKANBARU, THILASIA.ID- Aksi massa kembali bergema di jantung Kota Pekanbaru, Selasa (22/04/2025). Kali ini, giliran *Barisan Lantang Para Aktivis Indonesia* (BALAPATISIA) yang turun ke jalan, membawa tiga isu strategis yang dianggap tak terselesaikan: tarif parkir yang membingungkan, transisi pengelolaan sampah yang dinilai prematur, dan kondisi infrastruktur jalan yang kian memprihatinkan.
Mengusung semangat keadilan sosial, BALAPATISIA melalui Divisi Pemantau Kebijakan Publik mengkritik keras kebijakan Pemerintah Kota yang dinilai inkonsisten. Sorotan tertuju pada Peraturan Wali Kota (Perwako) No. 2 Tahun 2025 yang menurunkan tarif parkir, namun bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2024.
“Ini bukan hanya tumpang tindih regulasi. Ini soal nasib para juru parkir yang bekerja seharian tanpa perlindungan hukum maupun penghidupan layak,” ujar Cep Permana Galih, orator utama dalam aksi tersebut.
Menurut BALAPATISIA, kebijakan penghapusan tarif parkir di minimarket justru akan mendorong lahirnya pengangguran baru jika tidak diimbangi dengan solusi konkret. “Populisme tidak boleh menggusur kepentingan rakyat kecil,” tambah Cep.
Isu lain yang memicu protes adalah rencana Pemerintah Kota untuk mengambil alih pengelolaan sampah dari pihak swasta ke model swakelola di tingkat kelurahan dan kecamatan. BALAPATISIA menilai langkah ini terburu-buru dan belum siap secara struktural.
“Apakah DLHK sudah menghitung kekuatan armada, SDM, dan anggaran? Serahkan tanggung jawab ini ke RT/RW tanpa peta jalan jelas, itu namanya lempar beban,” tegas Ketua Umum BALAPATISIA.
Tak hanya itu, keterlambatan pembayaran gaji tenaga harian penyapu jalan menjadi ironi tersendiri. Bagi BALAPATISIA, ini bukan sekadar administrasi yang terlambat, tapi potret nyata dari lemahnya komitmen terhadap hak-hak pekerja lapangan.
Dalam data yang mereka paparkan, terdapat lebih dari 450 kilometer jalan rusak di Kota Pekanbaru, dengan 109 kilometer dalam kondisi rusak berat. Kendati anggaran hampir Rp50 miliar telah dialokasikan untuk 2025, realisasinya dianggap minim dan tidak transparan.
“Setiap lubang di jalan adalah luka di hati rakyat. Kami akan awasi proyek ini hingga ke meter terakhir,” ujar Cep Permana Galih, penuh semangat.
Kritik paling tajam dilontarkan kepada DPRD Kota Pekanbaru, khususnya Komisi I, yang dinilai pasif dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap kebijakan publik.
“Wakil rakyat seharusnya menjadi jembatan suara rakyat, bukan menara gading yang sunyi. Jika mereka terus diam, maka jalanan akan bersuara lebih lantang,” tandas BALAPATISIA dalam pernyataan resminya.
BALAPATISIA menegaskan, perjuangan ini bukan sekadar aksi simbolik, tapi gerakan berkelanjutan demi tata kelola kota yang adil, bersih, dan berpihak pada masyarakat bawah.